Liputan6.com, Jakarta - Frekuensi 700MHz disebut-sebut
sebagai salah satu kandidat terbaik untuk mendukung kehadiran 5G di Indonesia.
Karena itu, dalam laporan terbarunya, GSMA mengatakan Indonesia harus segera
melakukan realokasi di frekuensi ini. Untuk diketahui, frekuensi 700MHz
sekarang masih digunakan untuk keperluan TV analog. Karenanya, semua pihak
terkait masih menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran sebelum frekuensi ini
dapat digunakan untuk layanan mobile broadband.
Kendati 700MHz merupakan kandidat untuk menggelar 5G di
Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sebenarnya juga
menyiapkan sejumlah frekuensi lain untuk keperluan 5G.
"Persiapan untuk 5G itu mencakup semua band sebab 5G
ini membutuhkan coverage yang sangat besar," tutur Direktur Jenderal
Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Ismail di Jakarta,
Kamis (6/2/2020).
Namun Ismail mengatakan, selain ketersediaan frekuensi, ada
pekerjaan rumah yang juga harus diselesaikan pihak operator sebagai
penyelenggara, yakni tersambungnya antar BTS yang dimiliki melalui kabel fiber.
"Sebelum bicara spektrum 5G, tidak kalah penting adalah
operator itu melakukan fiberisasi, menghubungkan antar BTS dengan kabel fiber.
Sayang, kalau bangun 5G, tapi belum terkoneksi fiber. Di 5G itu (kabel) fiber
keharusan," tuturnya menjelaskan.
Tanggapan ATSI
Ketua Dewan Pengawas ATSI Danny Buldansyah.
Liputan6.com/Agustinus Mario Damar
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pengawas Asosiasi
Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Danny Buldansyah
mengatakan persoalan backhaul di kota besar sebenarnya tidak perlu
dikhawatirkan.
Alasannya, menurut Danny, 5G sama seperti teknologi seluler
lain, pasti akan pertama kali digelar di kota besar. Salah satu kota yang
kemungkinan akan mengadopsinya pertama kali adalah Jakarta dan kondisi backhaul
di kota ini sudah rapat.
"Jakarta itu sudah cukup rapat, backhaul di kota besar
itu tidak perlu dikhawatirkan. Nanti begitu merambah ke kota nomor dua atau
tiga, akan sedikit problematik. Namun begitu demand-nya ada, pasti akan
dibangun," tuturnya melanjutkan.
Masalah Sebenarnya
Lebih lanjut Donny juga mengatakan persoalan yang sebenarnya
dihadapi operator dalam pembangunan kabel fiber bukanlah investasi atau
operasional pembangunannya, melainkan soal perizinan.
"Pemasangan fiber optic itu kan menggali jalan, masang
tiang. Nah, ini butuh sinergi antara industri dengan pemerintah daerah,"
tuturnya melanjutkan.
Selai itu, dia mengatakan saat ini setiap pemerintah daerah
memiliki regulasi yang berbeda. Dia mencontohkan ada daerah yang mengharuskan
menyewa duct, ada pula yang mengharuskan menyewa kabel ke BUMD setempat, dan
ada pula derah yang menerapkan retribusi.
"Nah, kami pengennya ada keseragaman, yang memberi
jaminan kabel itu safe, tidak dipotong atau kena galian jalan. Yang kedua,
harganya reasonable, kalau reasonable, sudah pasti tarif ke pelanggan bisa
ditekan," tuturnya mengakhiri pembicaraan.
Seperti Yang Tertulis Pada Liputan6.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !